HUKUM PERIKATAN
·
Hukum
Perikatan :
Hukum perikatan adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih
di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Di dalam hukum perikatan
setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat
kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang
telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan
perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telahdisepakati dalam perjanjian.
·
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum
perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber
dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber berikut :
1. Perikatan yang timbul
dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul
dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan
perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige
daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .
·
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
·
Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung
pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik
yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam
undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak
dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu
asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan
perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan
bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya
asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara
embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo
de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas
ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap
bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas.
Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang
yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi.
Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada
dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de
homme par l’homme.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul
diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal
istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian
riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat
dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau
disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda
dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya
dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya
suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan
dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan
unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda
diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan
dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum
sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (Good
Faith)
Asas itikad baik tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan
itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian
(Personality)
Asas kepribadian merupakan
asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri.
·
Wanprestasi dan Akibatnya
Wanprestasi adalah tidak
memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari
wanprestasi, yaitu :
· Tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukannya
· Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
· Melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat
· Melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat
wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi,
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Membayar kerugian yang
diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti rugi sering diperinci
meliputi tiga unsur, yakni :
Ø Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
Ø Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
Ø Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan perjanjian atau
pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan
tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3. Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237
KUH Perdata.
·
Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
Ø Pembayaran.
Ø Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan (konsignasi).
Ø Pembaharuan utang (novasi).
Ø Perjumpaan utang atau kompensasi.
Ø Percampuran utang (konfusio).
Ø Pembebasan utang.
Ø Musnahnya barang terutang.
Ø Batal/ pembatalan.
Ø Berlakunya suatu syarat batal.
Ø Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran dalam arti
sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti
ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran
dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa
seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila
seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih
menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Novasi
Novasi adalah sebuah
persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga
macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1. Apabila seorang yang
berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya,
yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut
novasi objektif.
2. Apabila seorang berutang
baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang
dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
3. Apabila sebagai akibat
suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan
kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi
subjektif aktif).
Kompensasi
Yang dimaksud dengan
kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling
memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran
kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi
satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal
oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar