PERSAINGAN
HARGA PRODUK DALAM NEGERI VS HARGA PRODUK LUAR NEGERI DILIHAT DARI TINGGINYA
BIAYA PRODUKSI
“PRODUK
DALAM NEGERI”
Disusun
oleh :
Erika
Yuniarti
1EB24
22212534
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak
ditandatanganinya perjanjian ASEAN Free Trade Area (AFTA)-Cina pada Januari
2010, Indonesia sudah memasuki fase globalisasi. Persaingan pasar bebas yang
tidak mungkin dapat dihindari oleh Indonesia membawa serentetan kekhawatiran
akan masa depan perekonomian negara ini.
Ketidaksiapan Indonesia menghadapi AFTA-Cina yang merupakan program pasar bebas ini membuat produk-produk dalam negeri Indonesia semakin terpuruk. Banyaknya produk-produk luar negeri yang masuk ke Indonesia, secara perlahan mengubah pola pikir masyarakat terhadap produk-produk dalamnegeri.Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang merasa lebih berkelas ketika bisa menggunakan produk terkemuka dunia dan kemudian memamerkannya kepada orang lain.
Ketidaksiapan Indonesia menghadapi AFTA-Cina yang merupakan program pasar bebas ini membuat produk-produk dalam negeri Indonesia semakin terpuruk. Banyaknya produk-produk luar negeri yang masuk ke Indonesia, secara perlahan mengubah pola pikir masyarakat terhadap produk-produk dalamnegeri.Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang merasa lebih berkelas ketika bisa menggunakan produk terkemuka dunia dan kemudian memamerkannya kepada orang lain.
Tanpa
mereka sadari banyak hasil karya orang Indonesia yang di kirim keluar
negeri,karena di anggap hasil karyanya bagus dan berkualitas. Namun mengapa
orang Indonesia lebih memilih produk import
atau produk luar negeri padahal di indonesia banyak barang yang kualitasnya
hampir sama. Mengapa produk indonesia di anggap rendah oleh bangsanya sendiri
sedangkan bangsa lain bisa menghargai hasil karya indonesia? Keunggulan produk
luar negeri hanya Merk atau Branded saja. Mungkin ada beberapa orang
Indonesia yang bekerja sebagai desaingrafis
diluar negeri. namun harga yang di tawarkan produk luar negeri jauh lebih
mahal di bandingkan produk dalam negeri,mengapa mereka masih ingin membelinya?
Melihat
rendahnya produk dalam negeri di bandingkan dengan luar negeri,penulis
mengambil judul “Meningkatkan Produk
Dalam Negeri”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
cara menaikkan produk dalam negeri ?
2. Siapa
yang harus menaikkan produk dalam negeri ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui cara menaikkan produk dalam negeri.
2. Untuk
mengetahui siapa yang bisa menaikkan produk dalam negeri.
1.4 Kegunaan
1. Manfaat
Akademik : untuk mengetahui menaikkan produk dalam negeri.
2. Manfaat
Praktis : salah satu syarat untuk memperoleh nilai tugas Perekonomian Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
Produk Dalam Negeri
Berita di ambil tanggal 19 Juni 2012
Indonesia masih dihadapkan pada problem besar berupa
tingginya serbuan barang-barang impor. Di saat yang sama, harapan
terdongkraknya penggunaan produk-produk domestik melalui penerapan regulasi dan
program stimulan seperti kampanye program cinta produk dalam negeri seperti
mengalami mati suri.
Tingginya serbuan impor, terlihat dari tingginya prosentase pertumbuhan nilai impor dibanding ekspor. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang semester I/2010, impor non migas tumbuh 46,52% atau setara USD46,77 Miliar dari total impor yang meningkat 51,99% setara USD62,89 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara ekspor non migas hanya tumbuh 38,37% setara USD59,36 miliar dari total ekspor 44,83% atau USD72,52 miliar.
Dalam periode yang sama, nilai impor berdasar golongan penggunaan barang mengalami peningkatan untuk semua golongan. Impor barang konsumsi misalnya, meningkat sebesar 61,14%, bahan baku/penolong sebesar 55,90%, dan barang modal sebesar 35,91%.
Terlepas dari tingginya impor, upaya pemerintah mendorong masyarakat domestik memilih barang/jasa produk dalam negeri sendiri sepertinya belum mampu berbuat banyak. Penerapan regulasi agar penggunaan produk dalam negeri terdongkrak, bahkan melalui program-program seperti 'Aku Cinta Produk Indonesia' tampaknya masih sulit direalisasikan.
Anehnya, rendahnya kesadaran memanfaatkan barang/jasa produk dalam negeri terjadi pada lembaga-lembaga pemerintah sendiri. Mengutip kajian Kelompok Kerja Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (Pokja-P3DN) KADIN Indonesia (2010), terdapat beberapa kementerian/lembaga yang gemar menggunakan produk impor dibanding produk dalam negeri. Diantaranya Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Diduga, keempatnya rata-rata hanya menggunakan sekitar 15% dari anggaran untuk belanja produk dalam negeri.
Rendahnya pemanfaatan produksi industri dalam negeri, namun di saat yang sama masih banyak bergantung pada produk-produk impor patut disayangkan. Ada banyak resiko seperti kehilangan manfaat ekonomis baik berupa tergerusnya potensi cadangan devisa, terus melemahnya daya saing produk domestik, maupun sulitnya mendongkrak penciptaan lapangan kerja sebagai efek tingginya ketergantungan pada produk impor .
Perpres 54/2010 Baru-baru ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Peraturan Presiden tersebut ditekankan priorisasi penggunaan produk-produk dalam negeri sebagai bagian dari optimalisasi pemanfaatan produk dalam negeri.
Penekanan tersebut setidaknya dibahas dalam porsi yang cukup luas, Terdapat empat pasal, yakni Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99, yang terangkum dalam Bab VII tentang Penggunaan Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri membahas masalah penggunaan produk dalam negeri.Dalam ayat (1) Pasal 96 misalnya disebutkan, setiap Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya wajib melaksanakan beberapa hal dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasanya. Hal-hal dimaksud adalah memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional dalam pengadaan barang/jasa; memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional; dan memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk usaha mikro dan usaha kecil termasuk koperasi kecil.
Tingginya serbuan impor, terlihat dari tingginya prosentase pertumbuhan nilai impor dibanding ekspor. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang semester I/2010, impor non migas tumbuh 46,52% atau setara USD46,77 Miliar dari total impor yang meningkat 51,99% setara USD62,89 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara ekspor non migas hanya tumbuh 38,37% setara USD59,36 miliar dari total ekspor 44,83% atau USD72,52 miliar.
Dalam periode yang sama, nilai impor berdasar golongan penggunaan barang mengalami peningkatan untuk semua golongan. Impor barang konsumsi misalnya, meningkat sebesar 61,14%, bahan baku/penolong sebesar 55,90%, dan barang modal sebesar 35,91%.
Terlepas dari tingginya impor, upaya pemerintah mendorong masyarakat domestik memilih barang/jasa produk dalam negeri sendiri sepertinya belum mampu berbuat banyak. Penerapan regulasi agar penggunaan produk dalam negeri terdongkrak, bahkan melalui program-program seperti 'Aku Cinta Produk Indonesia' tampaknya masih sulit direalisasikan.
Anehnya, rendahnya kesadaran memanfaatkan barang/jasa produk dalam negeri terjadi pada lembaga-lembaga pemerintah sendiri. Mengutip kajian Kelompok Kerja Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (Pokja-P3DN) KADIN Indonesia (2010), terdapat beberapa kementerian/lembaga yang gemar menggunakan produk impor dibanding produk dalam negeri. Diantaranya Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Diduga, keempatnya rata-rata hanya menggunakan sekitar 15% dari anggaran untuk belanja produk dalam negeri.
Rendahnya pemanfaatan produksi industri dalam negeri, namun di saat yang sama masih banyak bergantung pada produk-produk impor patut disayangkan. Ada banyak resiko seperti kehilangan manfaat ekonomis baik berupa tergerusnya potensi cadangan devisa, terus melemahnya daya saing produk domestik, maupun sulitnya mendongkrak penciptaan lapangan kerja sebagai efek tingginya ketergantungan pada produk impor .
Perpres 54/2010 Baru-baru ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Peraturan Presiden tersebut ditekankan priorisasi penggunaan produk-produk dalam negeri sebagai bagian dari optimalisasi pemanfaatan produk dalam negeri.
Penekanan tersebut setidaknya dibahas dalam porsi yang cukup luas, Terdapat empat pasal, yakni Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99, yang terangkum dalam Bab VII tentang Penggunaan Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri membahas masalah penggunaan produk dalam negeri.Dalam ayat (1) Pasal 96 misalnya disebutkan, setiap Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya wajib melaksanakan beberapa hal dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasanya. Hal-hal dimaksud adalah memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional dalam pengadaan barang/jasa; memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional; dan memaksimalkan penyediaan paket-paket pekerjaan untuk usaha mikro dan usaha kecil termasuk koperasi kecil.
Terkait ketentuan penggunaan produk/jasa dalam
negeri seperti dijabarkan pada Pasal 96, Pasal 97 ayat (1) menyebutkan, itu
dilakukan sesuai besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang
ditunjukan dengan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dalam ayat
selanjutnya ditegaskan, penggunaan produk dalam negeri wajib digunakan bila
terdapat penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai TKDN
ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (Nilai BMP) paling sedikit 40%.
Optimasi penggunaan produk/jasa dalam negeri dalam Pasal 96 juga ditegaskan dengan priorisasi pemilihan penyedia antara penyedia lokal dan asing. Dalam ayat (5) pasal tersebut ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa diupayakan agar penyedia barang/jasa dalam negeri bertindak sebagai penyedia barang/jasa utama, sedang penyedia barang/jasa asing dapat berperan sebagai sub Penyedia Barang/Jasa sesuai kebutuhan.
Kondisi pengecualian priorisasi barang/jasa produk asing seperti melalui impor hanya terjadi dalam tiga kondisi. Ketiganya yaitu barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; spesifikasi teknis barang yang diproduksi di dalam negeri belum memenuhi persyaratan; dan atau, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
Bahkan dalam proses impornya, penyedia barang/jasa yang melaksanakan pengadaan harus semaksimal mungkin menggunakan jasa pelayanan yang ada di dalam negeri. Sebut saja dalam proteksi jasa asuransi, angkutan, ekspedisi, pembiayaan perbankan, dan pemeliharannya.
Alhasil, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang banyak menekankan priorisasi pemanfaatan produk dalam negeri menjadi pangkal harapan bagi optimasi penggunaan produk barang/jasa domestik.
Namun, pangkal harapan itu pun sangat bergantung kesadaran lembaga-lembaga publik menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasanya. Bila tidak, kehadirannya akan menjadi sia-sia.
Optimasi penggunaan produk/jasa dalam negeri dalam Pasal 96 juga ditegaskan dengan priorisasi pemilihan penyedia antara penyedia lokal dan asing. Dalam ayat (5) pasal tersebut ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa diupayakan agar penyedia barang/jasa dalam negeri bertindak sebagai penyedia barang/jasa utama, sedang penyedia barang/jasa asing dapat berperan sebagai sub Penyedia Barang/Jasa sesuai kebutuhan.
Kondisi pengecualian priorisasi barang/jasa produk asing seperti melalui impor hanya terjadi dalam tiga kondisi. Ketiganya yaitu barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; spesifikasi teknis barang yang diproduksi di dalam negeri belum memenuhi persyaratan; dan atau, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
Bahkan dalam proses impornya, penyedia barang/jasa yang melaksanakan pengadaan harus semaksimal mungkin menggunakan jasa pelayanan yang ada di dalam negeri. Sebut saja dalam proteksi jasa asuransi, angkutan, ekspedisi, pembiayaan perbankan, dan pemeliharannya.
Alhasil, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang banyak menekankan priorisasi pemanfaatan produk dalam negeri menjadi pangkal harapan bagi optimasi penggunaan produk barang/jasa domestik.
Namun, pangkal harapan itu pun sangat bergantung kesadaran lembaga-lembaga publik menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasanya. Bila tidak, kehadirannya akan menjadi sia-sia.
Berita
Terbaru
01
Mei 2013
Penggunaan
produk dalam negeri dapat meningkatkan kinerja industri yang pada akhir tahun
2012 mengalami pertumbuhan 6,40 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,23 persen.
"Kita patut bersyukur atas pencapaian ini. Pertumbuhan positif pada sektor industri terjadi di tengah-tengah lesunya perekonomian dunia terutama yang terjadi di Amerika dan Eropa," kata Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kemenperin, Panggah Susanto, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, di Jakarta, Rabu.
Menurut Panggah, salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah tingginya serbuan barang-barang impor sebagai dampak dari implementasi berbagai perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) di tengah semangat penguatan daya saing industri dan pengamanan pasar produk dalam negeri.
"Optimisme kebangkitan industri dalam negeri harus diiringi upaya-upaya yang secara signifikan mampu mendorong meningkatnya volume penggunaan produk dalam negeri," kata dia.
Pemerintah, lanjutnya, telah melakukan upaya melalui penerapan regulasi dan program stimulan seperti kampanye program cinta produk dalam negeri pada setiap lini kegiatan perekonomian. Ia mengungkapkan belanja pemerintah melalui APBN/APBD juga menjadi sasaran peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
"Dengan potensi belanja modal APBN tahun 2013 sebesar Rp 213 triliun dan Capex (Capital Expenditure) BUMN di atas Rp 1.000 triliun, dapat kita bayangkan betapa besarnya efek pergerakan ekonomi yang tercipta jika pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh APBN/APBD mengutamakan produk-produk industri dalam negeri," ujarnya.
"Kita patut bersyukur atas pencapaian ini. Pertumbuhan positif pada sektor industri terjadi di tengah-tengah lesunya perekonomian dunia terutama yang terjadi di Amerika dan Eropa," kata Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kemenperin, Panggah Susanto, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, di Jakarta, Rabu.
Menurut Panggah, salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah tingginya serbuan barang-barang impor sebagai dampak dari implementasi berbagai perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) di tengah semangat penguatan daya saing industri dan pengamanan pasar produk dalam negeri.
"Optimisme kebangkitan industri dalam negeri harus diiringi upaya-upaya yang secara signifikan mampu mendorong meningkatnya volume penggunaan produk dalam negeri," kata dia.
Pemerintah, lanjutnya, telah melakukan upaya melalui penerapan regulasi dan program stimulan seperti kampanye program cinta produk dalam negeri pada setiap lini kegiatan perekonomian. Ia mengungkapkan belanja pemerintah melalui APBN/APBD juga menjadi sasaran peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
"Dengan potensi belanja modal APBN tahun 2013 sebesar Rp 213 triliun dan Capex (Capital Expenditure) BUMN di atas Rp 1.000 triliun, dapat kita bayangkan betapa besarnya efek pergerakan ekonomi yang tercipta jika pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh APBN/APBD mengutamakan produk-produk industri dalam negeri," ujarnya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Indonesia masih dihadapkan pada problem besar berupa
tingginya serbuan barang-barang impor. Di saat yang sama, harapan
terdongkraknya penggunaan produk-produk domestik melalui penerapan regulasi dan
program stimulan seperti kampanye program cinta produk dalam negeri seperti
mengalami mati suri.
Tingginya serbuan impor, terlihat dari tingginya
prosentase pertumbuhan nilai impor dibanding ekspor.
Penerapan regulasi agar penggunaan produk dalam
negeri terdongkrak, bahkan melalui program-program seperti 'Aku Cinta Produk
Indonesia' tampaknya masih sulit direalisasikan.
Rendahnya pemanfaatan produksi industri dalam negeri, namun di saat yang sama masih banyak bergantung pada produk-produk impor patut disayangkan. Ada banyak resiko seperti kehilangan manfaat ekonomis baik berupa tergerusnya potensi cadangan devisa, terus melemahnya daya saing produk domestik, maupun sulitnya mendongkrak penciptaan lapangan kerja sebagai efek tingginya ketergantungan pada produk impor .
Rendahnya pemanfaatan produksi industri dalam negeri, namun di saat yang sama masih banyak bergantung pada produk-produk impor patut disayangkan. Ada banyak resiko seperti kehilangan manfaat ekonomis baik berupa tergerusnya potensi cadangan devisa, terus melemahnya daya saing produk domestik, maupun sulitnya mendongkrak penciptaan lapangan kerja sebagai efek tingginya ketergantungan pada produk impor .
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar